ANTARA LAIN:
Sekolah
Luar Biasa
Bagian A ( Khusus
Tunanetra).
A. Pengertian
anak tunanetra.
ð Anak tunanetra adalah orang yang mengalami
gangguan pada indera penglihatannya, yang ketunanetraannya digolongkan menjadi
buta total (totally blind) dan yang masih memiliki sisa penglihatan (low
vision). Gangguan ini membatasi tunenetra untuk dapat berinteraksi dengan
lingkungan fisik secara visual. Beberapa konsep informasi, seperti: ukuran,
bentuk, warna, lokasi, waktu, arah, dan jarak, tidak mudah didapatkan
tunanetra, sehingga mereka menggunakan alat indera yang lain untuk mendapatkan
informasi tersebut dan mengetahui kondisi fisik di sekitarnya.
ð Sedangkan sekolah luar biasa bagian A (khusus
tunanetra) adalah sekolah yang memberikan pendidikan khusus bagi anak yang
mengalami gangguan pada indera penglihatannya.
B. Tujuan
pembelajaran di sekolah tersebut.
ð Di klasifikasikan menjadi 2 jenis, antara
lain:
1. Tujuan umum.
Tujuan
umumnya adalah: pernyataan umum tentang hasil pembelajaran yang diinginkan.
Tujuan ini diacukan kepada keseluruhan isi mata pelajaran/ kuliah. Oleh karena
itu, tujuan umum akan banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian makro.
2. Tujuan Khusus.
Tujuan
Khusus: pernyataan khusus tentang hasil pembelajaran yang diinginkan. Tujuan
ini diacukan pada konstruk tertentu (apakah fakta, konsep, prosedur, atau
prinsip) dari mata pelajaran/ kuliah. Oleh karena itu, tujuan khusus akan
banyak mempengaruhi strategi pengorganisasian mikro.
C.
Prinsip
pembelajaran pendidikan anak tunanetra.
ð
Terdapat
empat prinsip dalam pembelajaran bagi anak tunanetra bila dibandingkan anak
awas pada umumnya:
1. Melakukan duplikasi.
Artinya:
mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran pada anak awas ke dalam
pembelajaran pada anak tunanetra tanpa melakukan perubahan, penambahan,
dan pengurangan apa pun.
2.
Melakukan modifikasi terhadap materi, media dan
strategi pembelajaran.
Yaitu:
sebagian atau keseluruhan materi, media, prosedur dan strategi pembelajaran
yang dipergunakan pada pembelajaran anak awas dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga baik materi, media, dan strategi pembelajarannya sesuai dengan
karakteristik anak.
3. Melakukan Substitusi.
Yaitu
mengganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang berlaku pada
pembelajaran anak awas, bahkan mengganti mata pelajaran tertentu,
misalnya mata pelajaran menggambar diganti dengan apresiasi seni suara atau
sastra. Memberikan tambahan pembelajaran/ kegiatan ekstrakurikuler yang
berkaitan dengan aktivitas kompensatif yang tidak ada pada kurikulum reguler.
Misalnya kursus orientasi mobilitas, Activity of Dailly Living (ADL), komputer
bicara, dll.
4.
Melakukan Omisi.
Yaitu
penghilangan materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak awas.
Hal tersebut dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak dapat
dilakukan, misalnya meniadakan materi pembiasan, proyeksi
warna, pada mata pelajaran/ mata kuliah tertentu, dan lain
sebagainya. Prinsip terakhir tersebut jarang dilakukan oleh sebagian
besar dosen/ guru dengan pertimbangan sesulit apa pun semua materi tetap
diberikan tetapi menurunkan target daya serap pembelajaran. Pada kasus
pembelajaran materi pembiasan, dosen/ guru tetap menyampaikannya secara
informatif, karena dapat bermanfaat untuk komunikasi dengan anak awas lain, meskipun
verbalisme anak tunatera dapat memanfaatkan kata visual dalam
berkomunikasi dengan peserta didik yang tidak tunanetra.
D.
Peserta Didik.
ð
Calon peserta didik yang dapat diterima
pada satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras adalah sebagai berikut:
1.
Anak yang mengalami gangguan pada
indera penglihatannya, yang ketunanetraannya digolongkan menjadi buta total (totally
blind) dan yang masih memiliki sisa penglihatan (low vision).
2.
Anak yang mau di didik dan masih berusia
sekolah.
3.
Dan berbagai ketentuan lainnya.
E.
Tenaga kependidikan.
ð
Tenaga kependidikan pada satuan
Pendidikan Luar Biasa tunanetra terdiri atas kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru yang berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa
khususnya tunanetra serta anggota masyarakat yang tidak di didik
khusus sebagai guru Pendidikan Luar Biasa tetapi mempunyai keahlian dan
kemampuan tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik dalam kegiatan
belajar.
F.
Metode pembelajaran.
ð
Terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Strategi pengorganisasian pembelajaran.
è adalah metode
untuk mengorganisasi isi mata pelajaran/ kuliah yang telah dipilih untuk
pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi,
penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.
è Strategi pengorganisasian
berkaitan dengan pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan
lainnya yang setingkat dengan itu.
1. Pemilihan dan
penataan isi materi tidak memerlukan modifikasi
2. Penyajian
diagram (objek dua dimensi) memerlukan modifikasi dengan mengemboss (menimbulkan)
agar dapat diraba tunanetra), sedangkan objek tiga dimensi harus disajikan
dalam bentuk benda asli atau model.
3. Penyajian
format/ formula vertikal dapat dimodifikasi dalam format horinsontal, karena
penulisan huruf Braille susah disajikan dalam format vertikal.
b.
Strategi penyampaian
è merupakan
komponen variabel metode untuk melaksanakan program pembelajaran. Sekurang-kurangnya ada 2 fungsi dari strategi
ini, yaitu:
1. Menyampaikan isi pembelajaran kepada peserta
didik.
2. Menyediakan informasi/ bahan-bahan yang
diperlukan peserta didik untuk menampilkan unjuk-kerja (seperti latihan dan
tes). Strategi penyampaian mencakup lingkungan fisik, guru, bahan-bahan
pembelajaran, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran.
è Atau, dengan
kata lain, peraga merupakan satu komponen penting dari strategi penyampaian
pembelajaran. Itulah sebabnya, peraga pembelajaran merupakan bidang kajian
utama strategi ini.
è Strategi
Penyampaian terdapat 3 komponen yang perlu diperhatikan dalam memdeskripsikan
strategi penyampaian:
1.
Peraga pembelajaran
·
Upayakan setiap anak mendapat
kesempatan untuk mengamati (meraba) media yang tersedia.
·
Peraga
visual dimodifikasi ke dalam peraga auditif, perabaan, namun tidak semua kesan
visual dapat diubah ke dalam kesan non visual. Misal persepsi cahaya, bayangan,
benda yang hanya dapat dijangkau dengan penglihatan. Hal ini anak tunanetra
cukup diberi kesempatan untuk merasakan gejala yang muncul atau bahkan cukup
diberikan cerita tentang itu.
·
Objek tiga
dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau model.
2.
Interaksi peserta didik dengan
peraga.
·
Peraga hendaknya jangan
terlalu besar atau terlalu kecil, yang ideal adalah sejauh kedua tangan dapat
mendeteksi objek secara keseluruhan.
·
Penyajian tabel/ diagram perlu
penjelasan cara membaca dan maksud tabel/ diagram tersebut.
·
Ada jaminan bahwa peraga itu tidak
berbahaya, tidak mudah rusak.
3.
Bentuk/ struktur pembelajaran.
·
Bentuk/struktur pembelajaran tidak
memerlukan modifikasi.
c.
Strategi Pengelolaan
è merupakan komponen
variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara peserta
didik dengan variabel-variabel metode pembelajaran lainnya.
·
Metode
pembelajaran untuk orang awas pada prinsipnya dapat diterapkan terhadap peserta
didik tunanetra dengan memodifikasi aktivitas visual ke dalam aktivitas
selain visual.
·
Metode
ceramah: kata-kata asing atau kata lain yang belum dikenal hendaknya dosen/
guru mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara ucapan dengan tulisan
berbeda maka dosen/ guru harus mengeja huruf demi huruf.
G.
Modifikasi pendidikan.
a. Modifikasi
waktu pembelajaran.
·
Lebih bijaksana bila dalam
pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang
dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding
dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti
yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam
mengerjakan soal-soal ujian diberikan tambahan waktu sedikitnya 20%
dengan waktu yang digunakan oleh anak awas.
·
Asumsi jumlah penambahan
waktu itu tidak memiliki dasar yang kuat, karena tiap mata kuliah tidak
membutuhkan penambahan waktu yang sama. Mata kuliah statistik yang disajikan
dalam bentuk gambar/ denah/ grafik timbul memerlukan waktu yang lebih lama,
ketika anak mengidentifikasi table, formula, grafik, sebaliknya mata kuliah
filsafat justru relatif lebih cepat.
·
Kecepatan mengerjakan soal
berbalik dengan orang awas (soal non eksakta), jika anak buta lebih cepat soal
disajikan dalam bentuk verbal, maka anak awas lebih cepat dan lebih yakin
jika soal disajikan dalam bentuk tertulis. Hal ini disebabkan karena
kecepatan membaca Braille dengan huruf cetak memiliki rentang
waktu yang relatif lama.
b.
Modifikasi
sarana/media.
·
Media
baca tulis untuk anak tunanetra total (buta) dimodifikasi dalam huruf
Braille, dan anak low vision dapat dimodifikasi dengan tulisan/ huruf
diperbesar/ menggunakan media optik sesuai dengan tingkat penglihatannya.
·
Telah
banyak diciptakan alat-alat dari hasil modifikasi yang khusus dipergunakan
untuk anak dengan kebutuhan khusus. Modifikasi tersebut telah dirasakan
manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Misal:
·
Komputer
untuk tunanetra yang dilengkapi dengan voice synthesizer (komputer bicara), jam
bicara, Hand Phone bicara, screen reader, kompas bicara, kalkulator
bicara.
·
Soft
ware yang diperlukan: translator Braille: CX, duxbury, MBC, WinBraille, Voice
syntheziser: Jaws, dll
·
Embosser:
Braillo 400, Braillo 200, Comet, Versapoint, Everest, Index, Mounbothen,
Marathon, MBOS, Braille Blazer, dll.
·
Laser
can (tongkat yang dilengakpi detector) untuk membantu tunanetra berjalan
dll.
·
Buku
bicara (talking book) melalui kaset atau CD (buku digital).
·
Papan
catur timbul, sepak bola bunyi, tenis meja (bola bunyi), bridge timbul, static
bicyle, Sepatu roda, merupakan alat olah raga tunanetra.
·
Block
kis tuntuk menghitung, papan paku untuk sistem koordinat, meteran timbul,
meteran bunyi, kalkulator bicara, dll dapat dimanfaatkan pada mata kuliah
matematika.
·
Braille
Kit
·
Mesin
ketik Braille
·
Tongkat
putih, Blindford
·
Power Rider.
c. Modifikasi
pengelolaan kelas.
·
Pengorganisasian kelas membutuhkan
strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan tempat
duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan prioritas
khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa modifikasi
pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang
lain.
·
Penempatan tempat duduk anak tunanetra harus diperhatikan
ketajaman pendengaran antara telinga kanan-kiri. Hindarkan sumber suara dosen
tidak dapat diterima anak dengan baik. Kerapian tempat duduk tidak berarti
apapun jika anak tunanetra tidak dapat mendengar informasi dosen/ guru.
O O
|
O O
|
O O
|
|||
O O
|
O O
|
O O
|
|||
X O
|
O X
|
X O
|
|||
Keterangan:
X = tempat duduk anak dengan kebutuhan khusus
0
= adalah tempat duduk anak rata-rata/ normal/
awas
V = meja/ kursi dosen
·
Pembuatan kelompok belajar/kelompok
apapun sebaiknya anak tunanetra tidak dijadikan satu kelompok, mereka
harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan peserta didik
tunanetra masih dapat mengerjakan tugas-tugas seperti anak yang lain sekalipun
minimal, mereka mendapatkan tugas seperti anak yang lain.
·
Kelas-kelas yang terdapat peserta
didik tunanetra sebaliknya jangan diciptakan situasi belajar yang kompetitif,
namun hendaknya anak yang unggul dapat dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu
kesulitan yang dihadapi memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik tunanetra secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif
maka peserta didik tunanetra sering ketinggalan dan tidak pernah memperoleh
kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya
·
Anak tunanetra ditempatkan
berdekatan dengan anak yang memiliki kepedulian untuk membantu membacakan yang
ditulis dosen/ guru di papan tulis/ layar LCD/OHP atau jika perlu dibuat jadwal
pendampingan.
·
Hindarkan penempatan kelas yang
bising, hal ini mengakibatkan anak kesulitan mendeteksi antara bunyi pokok dan
latar belakang. Suara yang paling kuat (sekalipun bukan bunyi pokok) akan
mendominasi pendengarannya.
·
Kelas-kelas untuk anak
tunanetra hendaknya mudah dijangkau (aksesibel), jika perlu berikan
tanda khusus dan relatif menetap.
Sekolah
Luar Biasa Bagian B ( Tuna Rungu )
Jika suatu saat saya diberikan kesempatan
untuk membangun sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Khususnya mereka yang
memiliki keterbatasan dalam pendengaran aku ingin sekolah menjadi tempat yang
nyaman selain rumah mereka. Aku ingin disekolah itu mereka merasa bahwa mereka
bukan anak yang memiliki keterbatasan melainkan anak-anak special pemberian
Tuhan.
A. Karakteristik anak Tunarungu
Klasifikasi
Ketunarunguan:
Umumnya klasifikasi anak tunarungu dibagi atas
dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan kurang dengar.
Tuli Orang tuli adalah seseorang yang
mengalami kehilangan kemampuan mendengar sehingga membuat proses informasi
bahasa melalui pendengaran, baik itu memakai atau tidak memakai alat dengar
Kurang dengar Kurang dengar adalah
seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi
ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat bantu dengar
memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui
pendengaran.
Karakteristik Tunarungu:
Karakteristik anak tunarungu dalam
aspek akademik
·
Keterbatasan dalam kemampuan berbicara
dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang
rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata
pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya.
Karakteristik anak tunarungu dalam
aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
o
Pergaulan terbatas dengan sesama
tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
o
Sifat ego-sentris yang melebihi anak
normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi
berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menye-suaikan diri, serta
tindakannya lebih terpusat pada "aku/ego", sehingga kalau ada
keinginan, harus selalu dipenuhi.
o
Perasaan takut (khawatir) terhadap
lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang
percaya diri.
o
Perhatian anak tunarungu sukar
dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
o
Memiliki sifat polos, serta
perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
o
Cepat marah dan mudah tersinggung,
sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan
perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang
lain.
Karakteristik tunarungu dari segi
fisik/kesehatan adalah sebagai berikut:
·
Jalannya kaku dan agak membungkuk
(jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu); gerak
matanya lebih cepat; gerakan tangannya cepat/lincah; dan pernafasannya pendek;
sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang yang normal
lainnya.
B. Metode
Pembelajaran untuk anak tuna rungu:
Metode dan Pendekatan Pengajaran
Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode
Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama
individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui
pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara
tersebut.
1)
Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Membaca
gerakan bibir
Orang
dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui
gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di
belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak
kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga
pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang
dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik
tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai
bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu.
Jadi,
orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang
lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang
non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,
1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Menggunakan
alat gerak tubuh :
Delapan
bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada
empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini
membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech
dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun
1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian
pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan
tunarungu lulusan sekolah menengah.
Tujuan
dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan
bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan
menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke
sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan
segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan
menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989
dalam Caldwell, 1997).
2)
Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman
& Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant
adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna,
dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan
ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan
tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan
berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa
penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari
bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar
dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi
ujaran dalam kondisi optimal.
Faktor-faktor
tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang
maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan
individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan
earmould yang tidak cocok.
C.
Pembelajaran
anak tunarungu di kelas
Pembelajaran
anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak
tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi,
yaitu:
- Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
- Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
- Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
- Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
- Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
- Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka
selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan.
Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran
bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai
kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus
yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
D.
Tenaga
Pendidik
Diharapkan
bahwa tenaga pendidik yang menangani pembelajaran untuk anak tuna rungu bukan
hanya mereka yang tamatan S1 dari fakultas PAUD tapi juga mereka yang berasal
dari lulusan psikologi atau seorang psikolog. Tenaga pendidik disini bukan
hanya mengajar anak-anak usia pra sekolah. Namun memberikan motivasi untuk
mereka kedepannya. Selain motivasi, diharapkan tenang pendidik bisa menemukan
bakat yang dimiliki anak.
Hal yang
paling dasar adalah kesabaran seorang guru mengajari anak-anak, mampu membangkitkan semangat anak dan tidak
menyerah dalam mengajar anak. Pribadi seorang guru yang tampak oleh seorang
anak akan menjadi motivasi tersendiri untuk seorang anak karena merasa di
perhatikan.
E.
Desain kelas
untuk sekolah anak berkebutuhan khusus.
Bagi anak
tuna rungu yang berkebatasan untuk mendengar, diharapkan bahwa penglihatan
mereka menjadi nilai tambah bagi anak-anak special ini. Jadi diharapakan kelas
yang senyaman mungkin. Dimana anak-anak juga dapat berinteraksi dengan
teman-temannya yang lain. Pada dinding kelas dibuat atau ditempel sesuatu yang
dapat menjadi tambahan informasi untuknya. Seperti gambar-gambar baru untuk
menambah pengetahuannya melalui penglihatan.
SEKOLAH
LUAR BIASA C (ANAK DOWN SYNDROM)
1. Anak
Down Sindrom
A.
Defenisi Anak Down Sindrom
Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas
perkembangan kromosom (Cuncha, 1992).
Ahli pertama yang mengidentifikasikan gangguan ini adalah John Langdon Down.
Ahli pertama yang mengidentifikasikan gangguan ini adalah John Langdon Down.
Dari segi sitologi, down syndrome dapat dibedakan
menjadi 2 tipe, yaitu:
Syndroma
Down Triplo-21 atau Trisomi 21, sehingga penderita memiliki 47 kromosom.
Penderita laki-laki= 47,xy,+21, sedangkan perempuan= 47,xx,+21. Kira-kira 92,5%
dari semua kasus syndrome down tergolong dalam tipe ini.
Syndrome
Down Translokasi, yaitu peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom,
disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan potongan kromosom
lainnya yang bukan homolog-nya (Suryo, 2001).
Kesimpulan yang diperoleh dari berbagai
definisi di atas adalah down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan
mental dan fisik yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Anak yang mengalami
down syndrome, biasanya memiliki IQ di bawah 50.
B.
Penyebab Anak Menderita Down Sindrom
Down syndrome terjadi karena kelainan susunan
kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom
tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita down
syndrome, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga
totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan
kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan down
syndrome.
Down syndrome juga disebabkan oleh kurangnya
zat-zat tertentu yang menunjang perkembangan sel syaraf pada saat bayi masih di
dalam kandungan, seperti kurangnya zat iodium. Menurut data badan UNICEF,
Indonesia diperkirakan kehilangan 140 juta poin Intelligence Quotient (IQ)
setiap tahun akibat kekurangan iodium. Faktor yang sama juga telah
mengakibatkan 10 hingga 20 kasus keterbelakangan mental setiap tahunnya.
2. Metode
Pembelajaran Untuk Anak Down Sindrom
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki
kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel).
Namun sayangnya
sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga
menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada
perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman
dalam masyarakat.
Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat
kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel.
Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian
yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Tujuan
diselenggarakannya lembaga pendidikan TK & SD Sekolah khusus anak dengan
down sindrom adalah mensukseskan program wajib belajar yang di canangkan oleh
pemerintah, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Meningkatkan
dan memperluas pemberian layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Sekolah umum yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif harus mempunyai tenaga guru yang memiliki
pemahaman tentang pendidikan inklusif dan pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus. Selain itu, perlu ada minimal satu orang guru yang memiliki kualifikasi
pendidikan atau keahlian pada bidang pendidikan khusus. Hal ini penting supaya
anak berkebutuhan khusus mendapat layanan pembelajaran yang tepat.
3. Desain
Ruangan Kelas
Di sekolah tersebut disediakan
fasilitas-fasilitas sebagai berikut :
1. Ruang Kepala
Sekolah
2. Ruang Guru/TU
3. Ruang Asesmen
4. Ruang kelas/ sumber
belajar sebanyak 20 ruang sumber belajar;
5. Ruang kelas khusus untuk penanganan anak autis yang di desain sesuai
kebutuhan;
6. Ruang Laboratorium Bahasa;
7. Hot Spot Wi-Fi area;
8. Ruang Perpustakaan;
9. Ruang latihan
program khusus (Fisioterapi, Okupasi terapi, Speech terapi/ terapi bicara);
10. Ruang/ sarana program keterampilan pilihan seperti:
ket. tataboga, ket. Pertanian, ket. Fotograpi kerajinan tangan dan keterampilan
jasa.
11. Toko Siswa
12. Pemeriksaaan para ahli: Dokter Rehab, dokter gigi, dan
Psikologi
13. Arena taman bermain
14. Lahan berbagai tanaman hias, tanaman
obat dan berbagai jenis tanaman
buah-buahan;
15. Mushola.
Selain itu desain ruangan yang dibuat memiliki
gambar-gambar yang membuat anak semangat dan tertarik untuk belajar.
Indoor Outdoor
4. Tenaga
Pendidik
Kunci utama menjadi seorang guru ialah, ia
harus sabar menghadapi murid yang berbeda. Harus lebih sabar, kompeten, ramah
dan memiliki inovasi-inovasi baru untuk pembelajaran untuk anak special. Dan
memiliki relasi yang cukup untuk dokter, psikiater dan lisa. Tidak menganggap
mereka yang berkebatasan menjadi penghalang. Melainkan membantu untuk
memotivikasi mereka dan menemukan bakat yang ada pada anak berkebutuhan khusus.
Sekolah
Luar Biasa Bagian D (Khusus Tunadaksa).
A. Pengertian
Anak Tunadaksa.
è Tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota
tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal sehingga untuk kepentingan
pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
è Pendidikan anak tunadaksa adalah pendidikan
khusus bagi anak yang mengalami ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan
fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan
fungsi secara normal.
B. Tujuan
Utama Sistem Pembelajaran di Sekolah:
1.
Pengembangan Intelektual dan Akademik
anak.
è Walaupun anak
memiliki kekurangan fisik namun anak masih mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan prestasi dan kemampuna akademiknya. Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan
secara formal di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak
tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman
pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan
perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.
2.
Membantu Perkembangan Fisik siswa.
è Dalam proses
pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya
dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah
adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan
tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru
harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang
salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
3.
Meningkatkan Perkembangan Emosi dan
Penerimaan Diri Anak
è Dalam proses
pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri
yang positif terhadap kekurangannya agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat
dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat
mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
4.
Mematangkan Moral dan Spiritual
è Dalam proses
pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan,
dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.
5.
Meningkatkan ekspresi diri.
è Ekspresi diri
anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau
kerajinan.
6.
Mempersiapkan Masa Depan dan
kemandirian anak.
è Dalam proses
pendidikan, guru dan yang lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan
kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan
sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya dan bias hidup mandiri kedepannya.
C. Sistem
Pendidikan
è Walaupun
pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah
khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar
Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah
ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa
yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya
tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya.
è Ada 3 hal yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum melaksanakan kegiatan
pembelajaran di kelas khusus tunadaksa:
a. Keluasan Gerak.
ð Jenis dan tingkat
gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting
yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke
semua penjuru layanan pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan
gerak anak. Masalah akses utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju
gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah lainnya (ruang
perpustakaan, laboratorium, ruangan kesenian, ruang olahraga, dan toilet).
b. Latihan
Keterampilan Menolong Diri (Self Help).
ð Anak-anak
berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan membantu diri (self
help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan
aktivitas mereka sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum.
Hal tersebut diharapkan anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada
orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum, kegiatan yang melibatkan
motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang air kecil.
Hal-hal tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di
sekolah.
c. Kebutuhan
Psikososial
ð Hambatan fisik
pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki
kesulitan dalam mengembangkan self esteem yang positif dan mengalami
kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal lainnya. Untuk mendukung
agar anak tunadaksa memiliki sifat self esteem yang positif, maka
seluruh anggota keluarga, guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas
harus memberikan dukungan dan bisa menerima anak dengan segala kelebihan maupun
kekurangannya. Dengan dukungan yang positif ini diharapkan anak dapat menerima
keadaan dirinya secara positif dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau
motivasi berprestasi di sekolah.
D. Peserta
Didik
è Anak-anak bersekolah di sekolah ini, adalah
anak-anak yang mengalami penyakit seperti:
ü Tunadaksa Saraf (neurologically
handicapped)
ü cerebral palsy
ü Athetosis
ü Ataxia
ü Tremor dan Regidity
ü Dan berbagai penyakit lainnya yang berhubungan
dengan penurunan kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara
normal.
E. Para Pengajar dan Ahli
è Para pengajar merupakan pengajar yang telah
mengikuti pelatihan khusus dan berpengalaman membimbing anak tunadaksa. Para
ahli seperti psikolog, terapis, dokter, dan ahli lain yang berperan dalam
pengamatan perkembangan kesehatan siswa.
F.
Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran.
è Dalam pelaksanaan
pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaannya,
seperti berikut:
a.
Perencanaan Kegiatan Pembelajaran.
ð Adapun
langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI)
yaitu:
1.
Membentuk tim PPI atau Tim Penilai
Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus,
guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta
personel lain yang diperlukan.
2. Menilai kekuatan
dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
3. Mengembangkan
tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
4. Merancang metode
dan prosedur pencapaian tujuan
5. Menentukan metode
dan evaluasi kemajuan.
b.
Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa
prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya
sebagai berikut:
1. Prinsip
multisensori (banyak indra)
ð Proses pendidikan
anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang
ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra.
Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan
sehingga dapat membantu proses pemahaman.
2. Prinsip
individualisasi.
ð Individualisasi
mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak
secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan
individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok
individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan
pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing.
3. Penataan
Lingkungan Belajar
ð Berhubung anak
tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan
membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah
sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung
kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung
sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke
luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau
segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan.
G.
Bangunan Sekolah
a. Bagian luar sekolah.
ü Sekolah di lengkapi dengan pagar yang selalu
di jaga oleh pengaman agar siswa-siswa aman berada di sekitar sekolah.
ü Daerah kawasan sekolah di lengkapi dengan
taman yang cukup lebar dan pepohonan yang dapat membuat udara menjadi sejuk.
ü Bangunan sekolah di cat dengan warna yang
cerah agar siswa lebih tertarik dan senang berada di kawasan sekolah.
ü Pada bagian taman juga di lengkapi dengan
permainan yang meningkatkan fungsi anggota tubuh siswa, yaitu seperti permainan
memanjat, mendaki jalanan landai dan lain-lain yang sudah di set aman bagi
anak.
ü Di taman juga ada di buat jalan yang cukup
lebar dengan teksturnya menonjol, sehingga hal itu dapat meningkat latihan
stimulus pada kaki anak.
b. Bagian dalam sekolah.
ü Lantai di buat keras dan rata, serta tidak
licin. Sehingga memungkinkan nak untuk memakai alat bantu ambulasi, seperti
kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan
aman.
ü Tangga sebaiknya
disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai. Namun apabila sekolah harus terdiri lebih dari
satu lantai, maka bangunan sekolah harus di lengkapi dengan fasilitas lift.
ü Jarak antara ruangan yang satu dengan yang
lainnya di buat berdekatan. Sehingga memudahkan anak untuk menjangkaunya.
ü Koridor(lorong) untuk menghubungkan antara
ruangan di buat lebar dan di lengkapi dengan pegangan di tembok agar bisa berlatih ambulasi
secara mandiri.
ü Toilet berada tidak jauh dari ruangan belajar
siswa, agar anak mudah menjangkaunya.
ü Sekolah di lengkapi dengan ruangan belajar,
perpustakaan, ruangan olahraga, ruangan khususseperti UKS untuk
pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, dan juga pastinya ruangan terapi (ruangan
dimana anak berlatih untuk meningkatkan stimulus ambulasinya seperti ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy),
ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi
okupasi, ruang bermain, serta lapangan.
c. Bagian dalam kelas.
ü Lantai ruangan kelas di buat tidak licin dan
rata.
ü Kelas sebaiknya
dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya kuat dan cukup besar serta
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat
disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk)
agar aman.
ü Ukuran papan tulis harus cukup besar agar
seluruh siswa dapat melihat kea rah papan tulis dengan jelas.
ü Pada ruangan khusus seperti ruangan terapi ortopedi di sediakan perangkat-perangkat
yang di butuhkan anak yaitu perangkat dapat berupa brance dan spint
yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan,
bagian-bagian anggota gerak atas, bagian-bagian anggota gerak bawah; dan
berbagai ruangan khusus lainnya.
Sekolah Luar Biasa Bagian E ( Khusus Tunalaras).
A. Pengertian Anak Tunalaras.
ð Anak tuna laras atau sering disebut anak nakal
merupakan anak yang mengalami hambatan atau kesulitan untuk menyesuaikan diri
di lingkungan sosialnya. Dia melakukan sesuatu itu diluar norma – norma yang
berlaku.
B. Pelayanan Pendidikan.
ð Bentuk pelayanan pendidikan dapat
diselenggarakan di SLB khusus bagi anak tunalaras (SLB-E). Berdasarkan data
statistik tahun 2003 yang dikeluarkan Direktorat Pendidikan Luar Biasa
menyebutkan bahwa jumlah anak tunalaras sebanyak 351 orang, dengan jumlah 12
(dua belas) Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras (lihat lampiran).
ð Ada pula Departemen terkait yang memberikan
pelayanan pendidikan bagian anak nakal yaitu Departemen Kehakiman dan
Departemen Sosial. Pada umumnya Departemen Kehakiman menampung “anak negara”
yaitu anak delinkwensi atas putusan pengadilan dicabut hak mendidik dari orang
tuanya kemudian diambil oleh pemerintah. Mereka dipelihara sampai berumur 18
tahun sebagai batas ukuran dewasa.
ð Sedangkan Departemen Sosial memelihara mereka
berdasar titipan dari orangtua, karena orangtua sudah merasa kewalahan. Atau
hasil razia anak gelandangan atau terlantar yang sulit bila dikembalikan kepada
orangtuanya karena keadaan tidak mampu atau sangat miskin.
ð Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita
mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial
sebagai berikut:
v Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di
sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan
gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih
tinggal bersama-sama temannya di kelas, hanya saja mereka mendapat perhatian dan layanan yang lebih khusus.
v Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu
belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan
baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu
diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah
dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu
dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan
dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
v Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama. Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya
dengan kata anak yang lain karena kenakalannya cukup berat atau
merugikan teman sebayanya.
v Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang
kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan teman maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim
ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus
dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
C. Bentuk Satuan dan Lama Pendidikan
a. Bentuk satuan
Pendidikan Luar Biasa Tunalaras terdiri dari:
v Sekolah Dasar Luar Biasa selanjunya disebut
SDLB, merupakan bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya untuk dapat
mengikuti pendidikan pada jenjang SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama)
baik melalui pendidikan terpadu atau kelas khusus.
v Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa
(SLTPLB) merupakan bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya dalam
kehidupan bemasyarakat dan memberi kemungkinan untuk mengikuti pendidikan pada
SMLB atau Sekolah Menengah (SMU/SMK) reguler melalui Pendidikan Terpadu dan
atau kelas khusus.
v Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) merupakan
bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya agar memiliki keterampilan
yang dapat menjadi sumber mata pencaharian sehingga dapat hidup mandiri di
masyarakat atau mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi.
b. Lama Pendidikan
Lama pendidikan setiap satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras adalah
sebagai berikut :
v SDLB, berlangsung selama sekurang-kurangnya 6
(enam) tahun.
v SLTPLB, berlangsung sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun.
v SMLB, berlangsung selama sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun.
D. Peserta Didik
ð Calon peserta didik yang dapat diterima pada
satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras adalah sebagai berikut :
v Sekurang-kurangnya berusia 6 (enam) tahun untuk
SDLB.
v Telah tamat dan lulus dari SDLB atau satuan
pendidikan yang sederajat atau setara, untuk SLTPLB dan atau SLTP reguler.
v Telah tamat dan lulus dari SLTPLB atau satuan
pendidikan yang sederajat atau setara, untuk SMLB dan atau SMU/SMK reguler.
E. Tenaga Kependidikan.
ð Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Luar
Biasa tunalaras terdiri atas kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru yang berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa
khususnya tunalaras serta anggota masyarakat yang tidak di didik khusus sebagai guru Pendidikan Luar Biasa
tetapi mempunyai keahlian dan kemampuan tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh
peserta didik dalam kegiatan belajar.
F. Program Pengajaran.
a. Kurikulum SDLB
meliputi:
v Program Umum. Isi program umum Kurikulum SDLB
disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Dasar dengan memperhatikan keterbatasan
kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
v Program Khusus. Isi program khusus kurikulum
SDLB disesuaikan dengan jenis kelainan siswa.
v Program Muatan Lokal. Program muatan lokal
kurilukum SDLB disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan, yang
ditetapkan oleh Kantor Dinas Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional
setempat.
b. Kurikulum SLTPLB
meliputi:
v Program Umum. Isi program umum Kurikulum SLTPLB
disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dengan memperhatikan
keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
v Program Khusus. Isi program khusus kurikulum
SLTPLB disesuaikan dengan jenis kelainan siswa.
v Program Muatan Lokal. Program muatan lokal kurilukum SLTPLB
disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan, yang ditetapkan oleh
Kantor Dinas Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional setempat.
v Program Pilihan. Isi program pilihan kurikulum SLTPLB berupa paket-paket keterampilan
yang dapat dipilih siswa dan diarahkan pada penguasaan satu jenis keterampilan
atau lebih yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
c.
Kurikulum SMLB meliputi :
v Program Umum. Isi program umum Kurikulum SMLB
disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Menengah dengan memperhatikan keterbatasan
kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.2) Program Pilihan. Isi program
pilihan kurikulum SMLB berupa paket-paket keterampilan yang dapat dipilih siswa
dan diarahkan pada penguasaan satu jenis keterampilan atau lebih yang dapat
menjadi bekal hidup di masyarakat.
d.
Bimbingan dan Rehabilitas
v Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam upaya menemukan pribadi, menguasai masalah yang disebabkan
oleh kelainan yang disandang, mengenali lingkungan dan merencanakan masa depan.
Bimbingan diberikan oleh guru pembimbing.
v Rehabilitasi merupakan upaya bentuan medik,
sosial, dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu
mengikuti pendidikan. Bimbingan dan rehabilitasi melibatkan para ahli terapi
fisik, ahli terapi bicara, dokter umum, dokter spesialis, ahli psikologi, ahli
pendidikan luar biasa, perawat dan pekerja sosial.
e.
Pola Penyelenggaraan.
ð Untuk menjamin kesesuaian program pendidikan luar biasa tunalaras dengan
keadaan dan kebutuhan lingkungan, kemampuan peserta didik tunalaras serta efektivitas
dan efesiensi, penyelenggaraan pendidikan luar biasa tunalaras dapat memilih
pola-pola berikut :
v Pendidikan Luar Biasa tunalaras merupakan
gabungan semua satuan pendidikan. Menurut pola ini, hanya terdapat satu bentuk
yang menyelenggarakan semua satuan pendidikan sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan lingkungan.
v Pendidikan Luar Biasa tunalaras dibagi menurut
satuan pendidikan. menurut pola ini terdapat 3 (tiga) bentuk yaitu SDLB, SLTPLB
dan SMLB yang masing-masing disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
lingkungan.
v Penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik
tunalaras yang memiliki kecerdasan normal dapat dilaksanakan bersama dengan
anak normal melalui pendidikan terpadu dan atau kelas khusus.
G.
Program Pembinaan Sekolah
a.
Program Bidang Pengajaran.
ð
Isi program bidang pengajaran pada prinsipnya sama dengan sekolah
reguler. Mengingat kondisi anak tunalaras pada umumnya malas untuk belajar,
maka sifat pengajaran kepada mereka juga bersifat penyuluhan atau yang disebut
remedial teaching. Remedial teaching maksudnya membantu murid dalam kesulitan
belajar. Sistem pengajaran bersifat klasikal. Ada kemungkinan dalam satu kelas
terdiri dari beberapa anak yang mengikuti program pengajaran secara
berbeda-beda. Jumlah murid tiap-tiap kelas sekurang-kurangnya tiga orang dan
sebanyak-banyaknya 12 orang.
ð
Banyak sedikitnya jumlah murid tiap kelas ditentukan oleh:
v
Faktor kecakapan guru melayani individu.
v
Makin muda usia makin kecil jumlahnya.
v
Ambang perbedaan umur tidak besar.
v
Fasilitas ruangan.
ð
Para guru di sekolah bagi anak tunalaras perlu memahami teknik
diagnosik kesulitan belajar, kemudian cara membimbing disesuaikan dengan bakat
dan kemampuan tiap-tiap murid.
b.
Program Bimbingan Penyuluhan.
ð
Program-program ditawarkan dalam bimbingan dan penyuluhan antara lain :
v
Program bimbingan penyuluhan suasana hidup keagamaan di asrama.
v
Program keterampilan.
v
Program belajar di sekolah reguler (terpadu dan atau kelas khusus).
v
Program bimbingan kesenian.
v
Program kembali ke orangtua.
v
Program kembali ke masyarakat.
v
Program bimbingan kepramukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar